Alkisah ...
Seorang ayah muda yang tinggal berdua dengan putri kesayangannya, setiap hari sepulang dari aktifitas selalu menghabiskan waktu bersama. Rumah mungil mereka terletak di pinggiran kota kecil yang asri di wilayah Jawa Tengah. Gadis tanggung yang baru duduk di bangku sekolah menengah kelas 8 ini biasa dipanggil Loca (baca: Loka) oleh sang ayah. Sementara Biyan, nama ayahnya, biasa disapa Abi oleh sang putri.
Ibunya Loca meninggal dunia 2 tahun yang lalu saat melahirkan adiknya. Saat mengetahui putra keduanya lahir dalam keadaan tidak bernyawa, sang ibu langsung kena serangan jantung dan meninggal selang beberapa jam kemudian.
Sampai saat ini, sang ayah belum menemukan pendamping yang tepat untuk menggantikan istrinya. Pernah beberapa kali dia dekat dengan wanita, tapi selalu gagal karena Loca tidak pernah menyukainya. "Yang baiknya mirip sama Bunda nggak ada ya, Abi? Ya udah nggak usah usaha lagi, deh, Bi. Mendingan Abi mendekatkan diri sama Allah aja daripada sama wanita," Katanya diplomatis. Bagi sang Ayah, apapun keputusan putrinya, itulah keputusannya. Siapapun pilihan putrinya, dialah pilihannya. Kebahagiaan putrinya adalah segalanya saat ini.
Sudah dua hari ini Pak Biyan harus menikmati kesendirian di rumahnya. Loca sedang mengikuti kegiatan camping selama 3 hari bersama teman-teman sekolahnya. Kegiatan itu diadakan di lokasi cagar alam yang disebut Gunung Linjo. Itu memang kegiatan sekolah. Acaranya sendiri sengaja diselenggarakan setiap tahun untuk melatih fisik dan ketangkasan siswa-siswinya.
Lokasi: Cagar alam Gunung Linjo (nama disembunyikan). Jam 4.40 pm.
"Locaaa!" Panggil Elyn, sahabat Loca. Dia berlari menghampiri Loca.
"Kenapa, Lyn?" Jawab Loca.
"Kamu lagi ngapain di sini?"
"Oh, aku lagi ngobrol sama orang sini. Dia dari Pecinta Alam gitu."
"Ha? Terus sekarang kemana orangnya?" Selidik Elyn sembari mengernyitkan alisnya.
"Mm, Udah pergi, Lyn," jawab Loca gugup.
"Loca, kamu jangan bikin aku takut, ah. Aku tuh merhatiin kamu dari tadi, dan kamu lagi ngobrol sendirian!" Kata Elyn setengah membentak.
Loca tidak menjawab. Dia malah kelihatan lega karena Elyn tidak sempat melihat dengan siapa dia bicara. Orang yang diajaknya bicara langsung menyelinap ke balik semak-semak karena dia tak mau siapapun melihatnya. Sementara bagi Elyn, keanehan itu sudah dirasakannya sejak kedatangan mereka di lokasi tempat camping ini. Loca sering pergi diam-diam, lalu setelah dicari, dia kepergok sedang ngobrol sendiri dengan lawan bicara yang tidak pernah tampak oleh kasat mata. Entah dengan siapa. #persoalan
Lokasi: Kediaman Pak Biyan. Jam 1.14 pm. Keesokan harinya.
Seorang ayah yang tengah merindukan putri kecilnya tampak tersenyum-senyum sendiri sembari meremas boneka babi kesayangan sang anak (kenapa harus babi, sih?). Sore ini Loca bakal kembali, dan beliau terlihat sudah tidak sabar menunggu kepulangan putrinya.
Selagi menunggu, Pak Biyan berusaha membunuh waktu dengan mengenang kejadian-kejadian kecil yang kerap beliau lewati bersama Loca. Meski Loca masih bocah, tapi sikapnya sudah bisa dewasa. Tiap pagi dia selalu bangun duluan untuk menyiapkan sarapan buat ayahnya. Nasi goreng plus telur ceplok setengah matang yang ditaburi lada hitam adalah sarapan favorit sang ayah. Menyeduhkan kopi, menyiapkan air hangat untuk mandi, bahkan sampai memanaskan mobil ayahnya, dia bisa, lho.
Ah, Loca Loca ... Siapa yang tidak bangga memiliki anak yang sedemikian pedulinya dengan kepentingan orangtuanya? Pak Biyan semakin mengembangkan senyumannya. Semua kenangan kecil itu tak urung membuatnya semakin merindukan sang putri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, Pak Wiyo, guru olahraga sekaligus pendamping para siswa yang mengikuti kegiatan camping itu, mendatangi rumah Pak Biyan untuk menyampaikan kabar yang paling mencengangkan melebihi apapun. Kabar seburuk-buruknya, kabar seduka-dukanya.
Betul. Siang tadi Loca mengalami kecelakaan fatal hingga merenggut nyawanya. Gadis mungil tersebut terjatuh ke jurang saat hendak mengambil setangkai Edelweis di dinding jurangnya. Tebing dengan ketinggian 15 meter itu menjadi saksi dimana kepala Loca pecah, dan seluruh tubuhnya remuk menghantam bebatuan di dasar jurang.
Selama 3 hari lamanya Pak Biyan koma di rumah sakit. Saat mendengar kabar duka itu, beliau langsung kena serangan jantung, tersungkur, lalu baru siuman 69 jam kemudian (kenapa harus 69, sih?).
Bahkan Pak Biyan tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Tidak sempat melihat jasad putrinya, dan tidak hadir di pemakamannya. Kini, beliau hanya bisa meratap. Ribuan tetes air mata mengalir bak hujan membasahi batu nisan sang putri. Jutaan kepedihan menyayat-nyayat jantungnya bak neraka duniawi. Dan milyaran sel darah di pembuluh nadinya mendidih bak kobaran api yang hendak membakar tubuhnya.
Sebaik-baiknya orang adalah yang panjang umurnya, dan baik amal salehnya. Setegar-tegarnya orang adalah yang kehilangan segalanya, tapi tidak menghilangkan apa yang tersisa, yaitu ... nyawa sendiri. Meski bak zombi, Pak Biyan berusaha melanjutkan hidupnya dengan membawa berjuta kepedihan. Ditinggal sang istri dan kedua anaknya, apa yang lebih menyedihkan dari itu?
Kasus meninggalnya Loca ini sudah ditutup. Setelah dilakukan penyelidikan mendalam di tempat kejadian, hasilnya memang positif kecelakaan. Saat Loca--lagi-lagi--menyelinap dari keramaian, dia pergi sendirian menuju tebing itu untuk mengambil Edelweis. Jejak sepatu yang ditemukan di akar yang menggantung di dinding tebing, semakin meyakinkan pihak penyidik kalau Loca terpeleset di sana dan terjun bebas ke bawah. Sama sekali tak ditemukan tanda-tanda sabotase atau kesengajaan yang tampak untuk mencelakainya.
Benarkah?
Lokasi: Kediaman Pak Biyan. Jam 12.46 am. 2 minggu kemudian.
"Ya Allah, jika Engkau berkenan, hadirkanlah putri hamba dalam mimpi hamba malam ini. Hamba sangat merindukannya. Izinkan hamba mengucap kata perpisahan untuk terakhir kalinya. Amiin ..." Ucap Pak Biyan sesaat sebelum beliau memejamkan matanya untuk terlelap. Setetes air mata tampak membelah pipi yang pucat itu. Doa yang teramat kuat saat terpanjat, bukan hal yang tak mungkin terkabul saat itu juga.
Namun, rupanya Tuhan tidak mengabulkan harapan itu. Keesokan paginya, Pak Biyan terbangun lebih cepat dalam keadaan seperti biasa. Tanpa kesan, tanpa mimpi indah, tanpa apapun yang mampu diingatnya.
Dengan gontai, beliau melangkah ke arah ruang makan, dan menemukan sesuatu yang sudah tidak asing lagi di matanya. Pak Biyan melihat menu sarapan yang khas, sudah tersaji di sana.
Sepiring nasi goreng dengan telor ceplok setengah matang, lengkap dengan secangkir kopinya, terpampang jelas di atas meja!
Pak Biyan terperangah kecil. Bagaimana bisa? Pintu rumahnya terkunci semalam, dan tidak mungkin ada orang bisa menyelinap masuk begitu saja, meski itu saudaranya sekalipun. Lagipula, kenapa aroma makanan itu begitu mirip dengan masakan yang biasa dibuatkan oleh Loca? Dan, selain istri dan Loca sendiri, tak ada yang tahu beliau suka telur setengah matang dengan taburan lada hitam. Siapa yang melakukan semua ini?
Pak Biyan belum mau menyentuh makanan itu. Dia segera bergegeas kesana kemari untuk mencari orang lain di rumahnya. Tidak ada, beliau belum menemukan siapapun. Pak Biyan lagi-lagi dibuat terperanjat saat menemukan air hangat sudah disiapkan di toilet untuk keperluan mandinya.
Bukan hanya itu. Kekalutannya semakin menjadi-jadi tatkala beliau mendengar suara mesin mobil meraung di garasi. Jantung Pak Biyan berdegup nyeri! Ada apa ini?! Siapa yang melakukan semua kebiasaan-kebiasaan putrinya?! Jerit batinnya.
"Selamat pagi, Abi. Udah sarapannya?" Sapa Loca dengan semangat.
"Astaghfirullahaldziiim! Siapa kamu?!" Bentak Pak Biyan sembari meremas dadanya yang berdegup semakin hebat. Matanya menatap tajam ke arah Loca. Tubuhnya gemetar tak karuan. Bagaimana mungkin ...?!
"Abi?! Abi kenapa?! Ini Loca, Abi! Kenapa Abi bersikap seperti ini?!" Tukas Loca tak kalah sengitnya. Dia merasa, sikap ayahnya sangat aneh hari ini. Sebenarnya apa yang terjadi pada ayahnya? Bagaimana mungkin ingatannya lenyap hanya dalam semalam?
Nah, lo. Sebenarnya siapa yang aneh, nih? *nyeduh kopi*
"eh itu kopi gua nod..!! "*di tempeleng pak Biyan.
Setelah bergumul dengan keganjilan yang terjadi di pagi itu, akhirnya Pak Biyan mengalah. Beliau tak pernah menceritakan tragedi itu karena tak mau membuat Loca sedih. Kini, perlahan ketakutannya surut. Setahap demi setahap kekalutannya mulai menjelma menjadi kebahagiaan. Putri kesayangannya sudah kembali! Beliau tak menyangka doanya semalam dikabulkan Tuhan melebihi harapannya. Bukan hanya lewat mimpi, namun juga lewat kehidupan nyata. Entahlah, meski ini aneh, Pak Biyan tetap mensyukurinya. Meski ini tak masuk akal, Pak Biyan akan menerimanya dengan hati terbuka.
Loca sudah kembali! Pak Biyan akan menjaganya seribu kali lebih baik dari sebelumnya. Tak akan pernah beliau biarkan hal buruk apapun menimpa lagi putrinya, itulah tekadnya. Keajaiban itu mampu mengembalikan semangat hidupnya hanya dalam sekejap mata.
Sementara Loca sendiri tetap merasa ada yang tidak beres dengan sikap ayahnya saat itu. Ketika sang ayah memeluknya erta-erat, dia hanya bisa membalas pelukannya dengan perasaan waswas. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin ayahnya habis mengalami NIGHTMARE yang nyata semalam hingga membuatnya hilang kesadaran. Semua bakal baik-baik saja, bisik hatinya.
Begitulah pertemuan mengharukan itu terjadi. Seperti biasa, keseharian ayah dan anak itu kembali dijalani dengan penuh sukacita, dengan penuh rasa cinta. Tak pernah henti-hentinya Pak Biyan bersyukur atas keajaiban yang dilimpahkan Tuhan padanya. Bahkan orang-orang disekitarnya seolah dibuat amnesia atas tragedi itu. Mereka memperlakukan Loca layaknya manusia pada umumnya. Tak ada tanda-tanda keanehan yang ditunjukkan mereka.
Hingga suatu hari di sore yang sejuk ...
Sepulang sekolah, Loca menghampiri ayahnya sembari mendekapnya dari belakang.
"Abi, lusa sekolah Loca mau ngadain camping di Gunung Linjo selama 3 hari. Loca boleh ikut, ya, Bi?"
*Pak Biyan langsung keselek microwave*
"ASTAGHFIRULLAH!!! TIDAK!! KAMU TIDAK BOLEH IKUT!!" Bentaknya dengan suara lantang. Dadanya kembali berdegup nyeri. Entah kenapa, beliau seperti menyadari sesuatu atas keganjilan yang beliau hadapi mengenai putrinya itu. Sedikit-demi sedikit semuanya mulai terasa masuk akal sekarang, namun juga terasa semakin rumit.
"Abi kenapa, sih?! Kalau nggak boleh, ya, bilang aja nggak boleh. Nggak usah membentak Loca!" Timpal Loca sembari terisak, sampai kemudian tangisannya pecah meraung. Itu adalah sikap terburuk sang ayah yang pernah ia terima seumur hidupnya.
Pak Biyan terperangah. Sungguh, beliau tak pernah berniat menyakitinya. Bentakan itu keluar dari mulutnya begitu saja, karena beliau tahu, di tempat camping itulah malapetaka mengerikan itu akan merenggut nyawa putri satu-satunya.
Pak Biyan bergegas mengambil kalender, dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ternyata tanggal yang ditunjukkan di kalender tersebut sesuai dengan hari yang sama, dimana beliau mengizinkan Loca pergi beberapa minggu lalu. Namun, bukan bentakan yang beliau luapkan. Saat itu beliau hanya menjawab, "Tentu, Sayang. Kamu sangat menginginkan ini dari dulu, kan? Tentu kamu boleh ikut," Jawabnya, yang kemudian dibalas lonjakan kegirangan dari sang putri.
Pak Biyan termangu. Dengan gusar, beliau mencopot kacamata plus-nya. Ini semakin tak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan sengaja mengirimkan beliau ke masa lalu, ke masa dimana hari-hari menjelang insiden maut itu akan terjadi? Insiden yang akan meremukkan tubuh bidadari kecilnya.
Apakah Tuhan sengaja melakukan itu untuk memberinya kesempatan? Untuk menyelamatkan Loca? Entahlah.
Pak Biyan menghampiri Loca yang masih menangis di atas sofa. Sungguh. Beliau sangat menyesalkan sikapnya barusan. Rasa iba yang hebat menyergapi hatinya kini.
"Loka, Sayang. Maafkan Abi, ya. Abi nggak bermaksud kasar sama kamu. Abi cuma kuatir." Pak Biyan mengelus rambut Loca sebelum akhirnya melanjutkan, "Kamu boleh ikut, kok. Tapi dengan syarat ..."
"Syarat apa, Bi?" Tanya Loca dengan mata berbinar.
"Abi akan ikut untuk menjagamu. Tapi Abi janji, Abi nggak bakalan mengganggu kamu. Abi akan mendirikan tenda jauh-jauh dari kamu, jadi teman-temanmu nggak akan tahu kalau ada Abi di sana. Kalau kamu nggak setuju, terpaksa Abi melarangmu pergi. Bagaimana?"
Yah, dengan terpaksa Loca mengiyakan syarat itu kalau ingin sang ayah mengizinkannya. Dia tahu persis watak ayahnya. Sekali bilang tidak, selamanya akan tidak untuk hal yang sama. "Tapi beneran ya, Bi, teman-teman Loca nggak bakal tahu sama kehadiran Abi? Kan, Loca malu, Bi, kalau sampai mereka tahu," jawab Loca, yang kemudian disambut anggukan dan kecupan hangat dari sang ayah.
Lokasi: Cagar alam Gunung Linjo. Jam 10.30 am. 4 hari kemudian.
Ini sudah hari kedua setelah Pak Biyan memutuskan untuk menjadi pengawal putrinya. Dari kejauhan, beliau tampak mengamati gerak-gerik putrinya yang sedang mengikuti kegiatan outbond. Tidak sedetik pun matanya lengah saat mengawasi Loca. Pak Biyan tahu, kecelakaan yang akan merenggut nyawa Loca itu akan terjadi besok pagi.
Beliau bersumpah, tak akan pernah membiarkan tragedi itu terulang kembali untuk yang kedua kalinya. Bahkan beliau rela menggantikan posisi Loca di dasar jurang, jika itu bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Demikianlah tekad Pak Biyan selama puluhan jam terakhir ini. Dan, itulah yang membuatnya cemas tak terkira hingga selalu membuatnya terjaga sepanjang malam.
Lalu, apakah tekadnya akan berjalan semulus rencananya? Apa benar kekuatan cinta seorang ayah mampu mencegah tragedi itu? Sanggupkah beliau menyelamatkan nyawa sang putri? You'll find the answers soon.
Keesokan paginya.
JENG GONJRENGG!!
"Pak, saya izin, ya, mau ke toilet sebentar," kata Loca pada guru pembinanya, Pak Wiyo.
"Boleh. Tapi jangan jauh-jauh. Di tempat biasa aja, ya," Jawab Pak Wiyo.
Dengan semangat, Loca pun melangkahkan kakinya menjauhi tenda. Saat pandangannya memutar ke arah bukit di atasnya, di sini lah bunga Edelweis itu sukses menarik perhatiannya, dan membangkitkan gairahnya untuk memetik mereka beberapa tangkai.
Setelah beberapa lama menyusuri jalan setapak menuju tebing, Loca pun akhirnya sampai di atas. Dengan nafas terengah, dia mulai menghampiri tepi jurang itu.
"LOCA!! HENTIKAN!!!" Jerit seseorang dari belakang.
"Abi?! Bikin kaget aja! Kok Abi tahu Loca di sini?!" Jawab Loca dengan raut terpana.
"Tentu saja Abi tahu. Abi menginap di sini semalaman!"
"Ya ampun, Abi! Kenapa Abi melakukan itu?! Kalau Abi sakit, gimana?"
"Abi nggak peduli. Kamu mau mengambil bunga Edelweis, kan? Kamu tunggu di sini. Biar Abi yang mengambilkan buat kamu," Perintah Pak Biyan. Hfffh, hampir saja beliau terlambat mencegahnya.
"Abi yakin?"
"Tentu saja. Tapi kamu janji sama Abi, kamu nggak bakal mendekati tepi jurang itu, ya! Kamu tunggu di sini, apapun yang terjadi! Kamu janji?!" Perintah Pak Biyan lagi sembari mengguncang pundak Loca.
"E, iya, Abi. Abi tenang aja. Loca janji bakal menunggu Abi di sini," jawab Loca dengan tatapan heran. Ayahnya selalu saja bersikap aneh akhir-akhir ini, seolah-olah beliau tahu Loca akan celaka. Tentu saja beliau tahu.
Dengan sigap, Pak Biyan pun menuruni jurang yang cukup curam itu. Untuk ukuran orang dewasa, sepertinya tak terlalu sulit melakukannya. Banyak akar menjuntai di dinding jurangnya yang bisa digunakan sebagai pijakan dan pegangan.
Pak Biyan semakin turun, semakin mendekati kuncup-kuncup bunga abadi itu. Kini, tangannya mulai meraih batangnya, dan siap memetiknya untuk diberikan pada Loca. Tatapan Pak Biyan sejenak menukik ke bawah, dan merinding hebat saat membayangkan tubuh anaknya pernah tergolek remuk di sana. Astaghfirullah, ucapnya seraya mencengkeram setangkai Edelweis di tangan kirinya.
Setelah selesai menantang maut, kini Pak Biyan mulai memanjati kembali dinding jurang itu. Matanya mendongak ke atas, dan tak melihat apapun selain akar yang meliuk-liuk. Beliau hanya ingin memastikan Loca menepati janjinya dengan tidak beranjak dari tempatnya. Setelah Pak Biyan sampai di atas nanti, tragedi maut itu tidak akan pernah terjadi. Misinya selesai. Pak Biyan dan putri kesayangannya akan kembali ke rumah dengan selamat.
"Sayang, kamu masih di situ, Nak?" Panggil Pak Biyan dari dinding tebing.
Senyap.
"Sayaaang. Kamu masih di atas, kan?!" Panggilnya lagi dengan sedikit berteriak.
Senyap.
"Loca!! Jawab Abi, Nak! Kamu masih di atas?!!"
Tetap senyap.
Pak Biyan mulai panik. Dengan cepat, beliau buru-buru memanjati akar itu untuk melihat keadaan putrinya. Hanya tinggal dua atau tiga titian lagi, kepalanya akan menyembul di atas dan bisa melihat situasi di sekitar tebing.
Beberapa detik kemudian, pemandangan paling mencengangkan pun sukses membuat jantung Pak Biyan hancur hingga berkeping-keping! Dalam sekejap, beliau segera tahu apa yang tengah menimpa putrinya di atas.
Mulut Loca tengah dibekap seseorang dalam keadaan terlentang, diringkus ... dan diperkosa dengan leluasa!
"BAJINGAAAAAAN!!!! HENTIKAAAAAAN!!! BANGSAT KAU, WIYO!! ANJING KAU, HENTIKAAAAAAN ...!!!!
Jeritan sang ayah pun pecah membelah hutan. Bunga abadi di cengkeraman itu lepas dari tangannya dan menukik ke dasar jurang. Gemeretak gigi yang menahan amarah meledak memecah kesunyian.
Namun apa yang terjadi kemudian? Kemurkaan yang meluap itu sama sekali tak digurbris oleh Pak Wiyo, seakan dia tak mendengar apapun, tak menyadari kehadiran siapapun. Masih dalam keadaan leluasa, bajingan itu terus saja melancarkan aksinya bak binatang.
Dengan mulut masih dibekap, Loca tampak menjulurkan tangannya ke arah sang ayah seolah meminta diraih, namun terlalu jauh. Begitu memprihatinkan. Begitu menyayat hati.
Tangisan dan jeritan memilukan dari sang ayah pun seakan tak ada artinya. Tubuhnya seolah terikat rantai di sana hingga tak mampu digerakkan. Hatinya semakin hancur, jeritannya yang masih menggema terdengar semakin memilukan dan nelangsa. Tuhan hanya mengizinkannya menyaksikan perilaku biadab itu, tanpa membiarkan beliau melakukan sesuatu. Ini kejam. Sangat kejam! Kenapa Dia begitu tega?
Hingga akhirnya semuanya tampak semakin jelas. Setelah puas memenuhi hasrat bajingannya, iblis itu memakaikan kembali rok pramuka yang dipakai Loca. Lalu, dalam keadaan tak sadarkan diri, Loca dibopong mendekati tepi jurang.
"Tidak! Aku mohon, Wiyo, jangan lakukan itu! Jangan kumohon, jangan!!" teriak Pak Biyan dengan geram, namun memelas. Jelas beliau bisa membaca apa yang hendak diperbuat sang keparat itu.
Di depan mata dan kepala sang ayah, Loca di lempar ke bawah, terjun bebas, lalu mendarat dengan kepala pecah dan tubuh yang remuk.
"TIDAAAAAAAAAAAAK ...!!!"
Pak Biyan melompat dari ranjangnya. Keringat dingin mengucur hebat di seantero tubuh yang kurus itu. Itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya. Mimpi yang mungkin akan membuatnya gila untuk melanjutkan sisa hidupnya.
"Astaghfirullah ... Astaghfirulah ... Astaghfirullahaladziiiim ..." Jerit Pak Biyan sembari meremas dadanya yang berdenyut semakn nyeri. Beberapa saat lamanya beliau hanya bisa mematung. Tenggorokannya tercekat bak digantungi kapak besar. Sampai kemudian beliau tersadar, tangan kirinya ternyata tengah mencengkeram setangkai bunga abadi, dengan bentuk sama persis seperti yang beliau petik saat di dinding jurang itu. Bunga abadi yang menjadi saksi tragedi maut itu. Bunga tak kenal layu yang menguatkan tekad sang ayah untuk mengusut kembali kasus putri kecilnya.
Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya beliau menyadari ... mimpi buruk itu adalah penglihatan yang diberikan Tuhan untuk mengungkap kasus yang menimpa sang putri. Ternyata Tuhan mewujudkan doanya sebelum tidur, dan tetap melebihi harapannya. Bukan hanya bisa bercengkerama dengan Loca, namun Dia juga mengizinkan sang ayah untuk mengungkap kebenaran itu. Kebenaran yang kini masih tertimbun tanah di pekuburan.
Clossing storry.
Setelah Pak Biyan mampu membuat pihak penyidik terkesima dengan bukti fisik yang ditunjukkannya dari tubuh sang pelaku, kasus kecelakaan yang menimpa Loca pun dibuka lagi.
Bukti apa yang ditunjukkan Pak Biyan? Bekas cakaran dari kuku Loca yang menggemat di punggung bawah Wiyo. Dua garis memanjang bekas cakaran itu sempat beliau lihat dalam mimpi saat si iblis melancarkan aksinya. Lukanya sendiri memang sudah kering, namun bentuk garis yang digambarkan Pak Biyan ternyata sama persis seperti bentuk aslinya. Bagaimana mungkin itu hanya sebuah kebetulan?
Secara teknis, bukti tersebut memang tidak cukup. Apalagi hanya diperoleh dari mimpi belaka. Maka demi kepentingan bersama, kasus itu pun diusut lagi. Makam Loca dibongkar untuk dilakukan visum. Lalu hasilnya? Terbukti jelas, selaput dara Loca sudah robek karena dorongan benda tumpul (tetep, bagian yang ini nggak usah dipikirin).
Saat ditest DNA, semuanya baru masuk akal. Sang guru bajingan itu sudah tidak bisa berkutik lagi. Sesaat sebelum palu diketuk tiga kali di meja hijau, hukuman mati pun dijatuhkan.
Lalu, orang yang diajak bicara sama Loca dan tidak terlihat oleh Elyn itu siapa, ya? Tentu saja itu ayahnya Loca, Pak Biyan. Termasuk jejak sepatu yang ditemukan di akar itu, itu juga jejak sepatu sang ayah. Itu pula yang menjadi penyebab kenapa Loca sering pergi diam-diam, untuk menemui ayahnya.
Nah, lalu kenapa beliau tidak bisa terlihat? Karena beliau hanya petunjuk dan firasat bagi Loca. Kamu pernah dengar cerita orang yang punya teman khayalan? Nah, seperti itu. Kita tidak pernah tahu siapa teman khayalan itu. Bisa saja mereka adalah 'pelindung' bagi kawan hidupnya.
Semuanya memang sulit dijelaskan dengan nalar. Namun itulah misteri. Segala sesuatu yang berbau metafisika itu ada, meski banyak orang berusaha menolaknya dengan alasan tak masuk akal. Benarkah tak masuk akal? Atau hanya tak bisa menerima kenyataan akan keterbatasan sel otak untuk menjelaskannya secara ilmiah? Entahlah.
Yang pasti, kasus pembunuhan keji yang menimpa Loca, putri seorang ayah yang pantang menyerah itu, mampu diungkap dan dituntaskan hanya dari sebuah doa. Doa yang kuat dan penuh cinta.
Pesan moral:
"Keajaiban itu ada, dan kadang terjadi di saat yang tak terduga. Kebesaran Tuhan itu nyata. Dan kadang, kita hanya harus menerimanya dengan lapang dada, tanpa perlu logika, apalagi rumus matematika."
Seorang ayah muda yang tinggal berdua dengan putri kesayangannya, setiap hari sepulang dari aktifitas selalu menghabiskan waktu bersama. Rumah mungil mereka terletak di pinggiran kota kecil yang asri di wilayah Jawa Tengah. Gadis tanggung yang baru duduk di bangku sekolah menengah kelas 8 ini biasa dipanggil Loca (baca: Loka) oleh sang ayah. Sementara Biyan, nama ayahnya, biasa disapa Abi oleh sang putri.
Ibunya Loca meninggal dunia 2 tahun yang lalu saat melahirkan adiknya. Saat mengetahui putra keduanya lahir dalam keadaan tidak bernyawa, sang ibu langsung kena serangan jantung dan meninggal selang beberapa jam kemudian.
Sampai saat ini, sang ayah belum menemukan pendamping yang tepat untuk menggantikan istrinya. Pernah beberapa kali dia dekat dengan wanita, tapi selalu gagal karena Loca tidak pernah menyukainya. "Yang baiknya mirip sama Bunda nggak ada ya, Abi? Ya udah nggak usah usaha lagi, deh, Bi. Mendingan Abi mendekatkan diri sama Allah aja daripada sama wanita," Katanya diplomatis. Bagi sang Ayah, apapun keputusan putrinya, itulah keputusannya. Siapapun pilihan putrinya, dialah pilihannya. Kebahagiaan putrinya adalah segalanya saat ini.
Sudah dua hari ini Pak Biyan harus menikmati kesendirian di rumahnya. Loca sedang mengikuti kegiatan camping selama 3 hari bersama teman-teman sekolahnya. Kegiatan itu diadakan di lokasi cagar alam yang disebut Gunung Linjo. Itu memang kegiatan sekolah. Acaranya sendiri sengaja diselenggarakan setiap tahun untuk melatih fisik dan ketangkasan siswa-siswinya.
Lokasi: Cagar alam Gunung Linjo (nama disembunyikan). Jam 4.40 pm.
"Locaaa!" Panggil Elyn, sahabat Loca. Dia berlari menghampiri Loca.
"Kenapa, Lyn?" Jawab Loca.
"Kamu lagi ngapain di sini?"
"Oh, aku lagi ngobrol sama orang sini. Dia dari Pecinta Alam gitu."
"Ha? Terus sekarang kemana orangnya?" Selidik Elyn sembari mengernyitkan alisnya.
"Mm, Udah pergi, Lyn," jawab Loca gugup.
"Loca, kamu jangan bikin aku takut, ah. Aku tuh merhatiin kamu dari tadi, dan kamu lagi ngobrol sendirian!" Kata Elyn setengah membentak.
Loca tidak menjawab. Dia malah kelihatan lega karena Elyn tidak sempat melihat dengan siapa dia bicara. Orang yang diajaknya bicara langsung menyelinap ke balik semak-semak karena dia tak mau siapapun melihatnya. Sementara bagi Elyn, keanehan itu sudah dirasakannya sejak kedatangan mereka di lokasi tempat camping ini. Loca sering pergi diam-diam, lalu setelah dicari, dia kepergok sedang ngobrol sendiri dengan lawan bicara yang tidak pernah tampak oleh kasat mata. Entah dengan siapa. #persoalan
Lokasi: Kediaman Pak Biyan. Jam 1.14 pm. Keesokan harinya.
Seorang ayah yang tengah merindukan putri kecilnya tampak tersenyum-senyum sendiri sembari meremas boneka babi kesayangan sang anak (kenapa harus babi, sih?). Sore ini Loca bakal kembali, dan beliau terlihat sudah tidak sabar menunggu kepulangan putrinya.
Selagi menunggu, Pak Biyan berusaha membunuh waktu dengan mengenang kejadian-kejadian kecil yang kerap beliau lewati bersama Loca. Meski Loca masih bocah, tapi sikapnya sudah bisa dewasa. Tiap pagi dia selalu bangun duluan untuk menyiapkan sarapan buat ayahnya. Nasi goreng plus telur ceplok setengah matang yang ditaburi lada hitam adalah sarapan favorit sang ayah. Menyeduhkan kopi, menyiapkan air hangat untuk mandi, bahkan sampai memanaskan mobil ayahnya, dia bisa, lho.
Ah, Loca Loca ... Siapa yang tidak bangga memiliki anak yang sedemikian pedulinya dengan kepentingan orangtuanya? Pak Biyan semakin mengembangkan senyumannya. Semua kenangan kecil itu tak urung membuatnya semakin merindukan sang putri.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, Pak Wiyo, guru olahraga sekaligus pendamping para siswa yang mengikuti kegiatan camping itu, mendatangi rumah Pak Biyan untuk menyampaikan kabar yang paling mencengangkan melebihi apapun. Kabar seburuk-buruknya, kabar seduka-dukanya.
Betul. Siang tadi Loca mengalami kecelakaan fatal hingga merenggut nyawanya. Gadis mungil tersebut terjatuh ke jurang saat hendak mengambil setangkai Edelweis di dinding jurangnya. Tebing dengan ketinggian 15 meter itu menjadi saksi dimana kepala Loca pecah, dan seluruh tubuhnya remuk menghantam bebatuan di dasar jurang.
Selama 3 hari lamanya Pak Biyan koma di rumah sakit. Saat mendengar kabar duka itu, beliau langsung kena serangan jantung, tersungkur, lalu baru siuman 69 jam kemudian (kenapa harus 69, sih?).
Bahkan Pak Biyan tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Tidak sempat melihat jasad putrinya, dan tidak hadir di pemakamannya. Kini, beliau hanya bisa meratap. Ribuan tetes air mata mengalir bak hujan membasahi batu nisan sang putri. Jutaan kepedihan menyayat-nyayat jantungnya bak neraka duniawi. Dan milyaran sel darah di pembuluh nadinya mendidih bak kobaran api yang hendak membakar tubuhnya.
Sebaik-baiknya orang adalah yang panjang umurnya, dan baik amal salehnya. Setegar-tegarnya orang adalah yang kehilangan segalanya, tapi tidak menghilangkan apa yang tersisa, yaitu ... nyawa sendiri. Meski bak zombi, Pak Biyan berusaha melanjutkan hidupnya dengan membawa berjuta kepedihan. Ditinggal sang istri dan kedua anaknya, apa yang lebih menyedihkan dari itu?
Kasus meninggalnya Loca ini sudah ditutup. Setelah dilakukan penyelidikan mendalam di tempat kejadian, hasilnya memang positif kecelakaan. Saat Loca--lagi-lagi--menyelinap dari keramaian, dia pergi sendirian menuju tebing itu untuk mengambil Edelweis. Jejak sepatu yang ditemukan di akar yang menggantung di dinding tebing, semakin meyakinkan pihak penyidik kalau Loca terpeleset di sana dan terjun bebas ke bawah. Sama sekali tak ditemukan tanda-tanda sabotase atau kesengajaan yang tampak untuk mencelakainya.
Benarkah?
Lokasi: Kediaman Pak Biyan. Jam 12.46 am. 2 minggu kemudian.
"Ya Allah, jika Engkau berkenan, hadirkanlah putri hamba dalam mimpi hamba malam ini. Hamba sangat merindukannya. Izinkan hamba mengucap kata perpisahan untuk terakhir kalinya. Amiin ..." Ucap Pak Biyan sesaat sebelum beliau memejamkan matanya untuk terlelap. Setetes air mata tampak membelah pipi yang pucat itu. Doa yang teramat kuat saat terpanjat, bukan hal yang tak mungkin terkabul saat itu juga.
Namun, rupanya Tuhan tidak mengabulkan harapan itu. Keesokan paginya, Pak Biyan terbangun lebih cepat dalam keadaan seperti biasa. Tanpa kesan, tanpa mimpi indah, tanpa apapun yang mampu diingatnya.
Dengan gontai, beliau melangkah ke arah ruang makan, dan menemukan sesuatu yang sudah tidak asing lagi di matanya. Pak Biyan melihat menu sarapan yang khas, sudah tersaji di sana.
Sepiring nasi goreng dengan telor ceplok setengah matang, lengkap dengan secangkir kopinya, terpampang jelas di atas meja!
Pak Biyan terperangah kecil. Bagaimana bisa? Pintu rumahnya terkunci semalam, dan tidak mungkin ada orang bisa menyelinap masuk begitu saja, meski itu saudaranya sekalipun. Lagipula, kenapa aroma makanan itu begitu mirip dengan masakan yang biasa dibuatkan oleh Loca? Dan, selain istri dan Loca sendiri, tak ada yang tahu beliau suka telur setengah matang dengan taburan lada hitam. Siapa yang melakukan semua ini?
Pak Biyan belum mau menyentuh makanan itu. Dia segera bergegeas kesana kemari untuk mencari orang lain di rumahnya. Tidak ada, beliau belum menemukan siapapun. Pak Biyan lagi-lagi dibuat terperanjat saat menemukan air hangat sudah disiapkan di toilet untuk keperluan mandinya.
Bukan hanya itu. Kekalutannya semakin menjadi-jadi tatkala beliau mendengar suara mesin mobil meraung di garasi. Jantung Pak Biyan berdegup nyeri! Ada apa ini?! Siapa yang melakukan semua kebiasaan-kebiasaan putrinya?! Jerit batinnya.
"Selamat pagi, Abi. Udah sarapannya?" Sapa Loca dengan semangat.
"Astaghfirullahaldziiim! Siapa kamu?!" Bentak Pak Biyan sembari meremas dadanya yang berdegup semakin hebat. Matanya menatap tajam ke arah Loca. Tubuhnya gemetar tak karuan. Bagaimana mungkin ...?!
"Abi?! Abi kenapa?! Ini Loca, Abi! Kenapa Abi bersikap seperti ini?!" Tukas Loca tak kalah sengitnya. Dia merasa, sikap ayahnya sangat aneh hari ini. Sebenarnya apa yang terjadi pada ayahnya? Bagaimana mungkin ingatannya lenyap hanya dalam semalam?
Nah, lo. Sebenarnya siapa yang aneh, nih? *nyeduh kopi*
"eh itu kopi gua nod..!! "*di tempeleng pak Biyan.
Setelah bergumul dengan keganjilan yang terjadi di pagi itu, akhirnya Pak Biyan mengalah. Beliau tak pernah menceritakan tragedi itu karena tak mau membuat Loca sedih. Kini, perlahan ketakutannya surut. Setahap demi setahap kekalutannya mulai menjelma menjadi kebahagiaan. Putri kesayangannya sudah kembali! Beliau tak menyangka doanya semalam dikabulkan Tuhan melebihi harapannya. Bukan hanya lewat mimpi, namun juga lewat kehidupan nyata. Entahlah, meski ini aneh, Pak Biyan tetap mensyukurinya. Meski ini tak masuk akal, Pak Biyan akan menerimanya dengan hati terbuka.
Loca sudah kembali! Pak Biyan akan menjaganya seribu kali lebih baik dari sebelumnya. Tak akan pernah beliau biarkan hal buruk apapun menimpa lagi putrinya, itulah tekadnya. Keajaiban itu mampu mengembalikan semangat hidupnya hanya dalam sekejap mata.
Sementara Loca sendiri tetap merasa ada yang tidak beres dengan sikap ayahnya saat itu. Ketika sang ayah memeluknya erta-erat, dia hanya bisa membalas pelukannya dengan perasaan waswas. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin ayahnya habis mengalami NIGHTMARE yang nyata semalam hingga membuatnya hilang kesadaran. Semua bakal baik-baik saja, bisik hatinya.
Begitulah pertemuan mengharukan itu terjadi. Seperti biasa, keseharian ayah dan anak itu kembali dijalani dengan penuh sukacita, dengan penuh rasa cinta. Tak pernah henti-hentinya Pak Biyan bersyukur atas keajaiban yang dilimpahkan Tuhan padanya. Bahkan orang-orang disekitarnya seolah dibuat amnesia atas tragedi itu. Mereka memperlakukan Loca layaknya manusia pada umumnya. Tak ada tanda-tanda keanehan yang ditunjukkan mereka.
Hingga suatu hari di sore yang sejuk ...
Sepulang sekolah, Loca menghampiri ayahnya sembari mendekapnya dari belakang.
"Abi, lusa sekolah Loca mau ngadain camping di Gunung Linjo selama 3 hari. Loca boleh ikut, ya, Bi?"
*Pak Biyan langsung keselek microwave*
"ASTAGHFIRULLAH!!! TIDAK!! KAMU TIDAK BOLEH IKUT!!" Bentaknya dengan suara lantang. Dadanya kembali berdegup nyeri. Entah kenapa, beliau seperti menyadari sesuatu atas keganjilan yang beliau hadapi mengenai putrinya itu. Sedikit-demi sedikit semuanya mulai terasa masuk akal sekarang, namun juga terasa semakin rumit.
"Abi kenapa, sih?! Kalau nggak boleh, ya, bilang aja nggak boleh. Nggak usah membentak Loca!" Timpal Loca sembari terisak, sampai kemudian tangisannya pecah meraung. Itu adalah sikap terburuk sang ayah yang pernah ia terima seumur hidupnya.
Pak Biyan terperangah. Sungguh, beliau tak pernah berniat menyakitinya. Bentakan itu keluar dari mulutnya begitu saja, karena beliau tahu, di tempat camping itulah malapetaka mengerikan itu akan merenggut nyawa putri satu-satunya.
Pak Biyan bergegas mengambil kalender, dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ternyata tanggal yang ditunjukkan di kalender tersebut sesuai dengan hari yang sama, dimana beliau mengizinkan Loca pergi beberapa minggu lalu. Namun, bukan bentakan yang beliau luapkan. Saat itu beliau hanya menjawab, "Tentu, Sayang. Kamu sangat menginginkan ini dari dulu, kan? Tentu kamu boleh ikut," Jawabnya, yang kemudian dibalas lonjakan kegirangan dari sang putri.
Pak Biyan termangu. Dengan gusar, beliau mencopot kacamata plus-nya. Ini semakin tak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan sengaja mengirimkan beliau ke masa lalu, ke masa dimana hari-hari menjelang insiden maut itu akan terjadi? Insiden yang akan meremukkan tubuh bidadari kecilnya.
Apakah Tuhan sengaja melakukan itu untuk memberinya kesempatan? Untuk menyelamatkan Loca? Entahlah.
Pak Biyan menghampiri Loca yang masih menangis di atas sofa. Sungguh. Beliau sangat menyesalkan sikapnya barusan. Rasa iba yang hebat menyergapi hatinya kini.
"Loka, Sayang. Maafkan Abi, ya. Abi nggak bermaksud kasar sama kamu. Abi cuma kuatir." Pak Biyan mengelus rambut Loca sebelum akhirnya melanjutkan, "Kamu boleh ikut, kok. Tapi dengan syarat ..."
"Syarat apa, Bi?" Tanya Loca dengan mata berbinar.
"Abi akan ikut untuk menjagamu. Tapi Abi janji, Abi nggak bakalan mengganggu kamu. Abi akan mendirikan tenda jauh-jauh dari kamu, jadi teman-temanmu nggak akan tahu kalau ada Abi di sana. Kalau kamu nggak setuju, terpaksa Abi melarangmu pergi. Bagaimana?"
Yah, dengan terpaksa Loca mengiyakan syarat itu kalau ingin sang ayah mengizinkannya. Dia tahu persis watak ayahnya. Sekali bilang tidak, selamanya akan tidak untuk hal yang sama. "Tapi beneran ya, Bi, teman-teman Loca nggak bakal tahu sama kehadiran Abi? Kan, Loca malu, Bi, kalau sampai mereka tahu," jawab Loca, yang kemudian disambut anggukan dan kecupan hangat dari sang ayah.
Lokasi: Cagar alam Gunung Linjo. Jam 10.30 am. 4 hari kemudian.
Ini sudah hari kedua setelah Pak Biyan memutuskan untuk menjadi pengawal putrinya. Dari kejauhan, beliau tampak mengamati gerak-gerik putrinya yang sedang mengikuti kegiatan outbond. Tidak sedetik pun matanya lengah saat mengawasi Loca. Pak Biyan tahu, kecelakaan yang akan merenggut nyawa Loca itu akan terjadi besok pagi.
Beliau bersumpah, tak akan pernah membiarkan tragedi itu terulang kembali untuk yang kedua kalinya. Bahkan beliau rela menggantikan posisi Loca di dasar jurang, jika itu bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Demikianlah tekad Pak Biyan selama puluhan jam terakhir ini. Dan, itulah yang membuatnya cemas tak terkira hingga selalu membuatnya terjaga sepanjang malam.
Lalu, apakah tekadnya akan berjalan semulus rencananya? Apa benar kekuatan cinta seorang ayah mampu mencegah tragedi itu? Sanggupkah beliau menyelamatkan nyawa sang putri? You'll find the answers soon.
Keesokan paginya.
JENG GONJRENGG!!
"Pak, saya izin, ya, mau ke toilet sebentar," kata Loca pada guru pembinanya, Pak Wiyo.
"Boleh. Tapi jangan jauh-jauh. Di tempat biasa aja, ya," Jawab Pak Wiyo.
Dengan semangat, Loca pun melangkahkan kakinya menjauhi tenda. Saat pandangannya memutar ke arah bukit di atasnya, di sini lah bunga Edelweis itu sukses menarik perhatiannya, dan membangkitkan gairahnya untuk memetik mereka beberapa tangkai.
Setelah beberapa lama menyusuri jalan setapak menuju tebing, Loca pun akhirnya sampai di atas. Dengan nafas terengah, dia mulai menghampiri tepi jurang itu.
"LOCA!! HENTIKAN!!!" Jerit seseorang dari belakang.
"Abi?! Bikin kaget aja! Kok Abi tahu Loca di sini?!" Jawab Loca dengan raut terpana.
"Tentu saja Abi tahu. Abi menginap di sini semalaman!"
"Ya ampun, Abi! Kenapa Abi melakukan itu?! Kalau Abi sakit, gimana?"
"Abi nggak peduli. Kamu mau mengambil bunga Edelweis, kan? Kamu tunggu di sini. Biar Abi yang mengambilkan buat kamu," Perintah Pak Biyan. Hfffh, hampir saja beliau terlambat mencegahnya.
"Abi yakin?"
"Tentu saja. Tapi kamu janji sama Abi, kamu nggak bakal mendekati tepi jurang itu, ya! Kamu tunggu di sini, apapun yang terjadi! Kamu janji?!" Perintah Pak Biyan lagi sembari mengguncang pundak Loca.
"E, iya, Abi. Abi tenang aja. Loca janji bakal menunggu Abi di sini," jawab Loca dengan tatapan heran. Ayahnya selalu saja bersikap aneh akhir-akhir ini, seolah-olah beliau tahu Loca akan celaka. Tentu saja beliau tahu.
Dengan sigap, Pak Biyan pun menuruni jurang yang cukup curam itu. Untuk ukuran orang dewasa, sepertinya tak terlalu sulit melakukannya. Banyak akar menjuntai di dinding jurangnya yang bisa digunakan sebagai pijakan dan pegangan.
Pak Biyan semakin turun, semakin mendekati kuncup-kuncup bunga abadi itu. Kini, tangannya mulai meraih batangnya, dan siap memetiknya untuk diberikan pada Loca. Tatapan Pak Biyan sejenak menukik ke bawah, dan merinding hebat saat membayangkan tubuh anaknya pernah tergolek remuk di sana. Astaghfirullah, ucapnya seraya mencengkeram setangkai Edelweis di tangan kirinya.
Setelah selesai menantang maut, kini Pak Biyan mulai memanjati kembali dinding jurang itu. Matanya mendongak ke atas, dan tak melihat apapun selain akar yang meliuk-liuk. Beliau hanya ingin memastikan Loca menepati janjinya dengan tidak beranjak dari tempatnya. Setelah Pak Biyan sampai di atas nanti, tragedi maut itu tidak akan pernah terjadi. Misinya selesai. Pak Biyan dan putri kesayangannya akan kembali ke rumah dengan selamat.
"Sayang, kamu masih di situ, Nak?" Panggil Pak Biyan dari dinding tebing.
Senyap.
"Sayaaang. Kamu masih di atas, kan?!" Panggilnya lagi dengan sedikit berteriak.
Senyap.
"Loca!! Jawab Abi, Nak! Kamu masih di atas?!!"
Tetap senyap.
Pak Biyan mulai panik. Dengan cepat, beliau buru-buru memanjati akar itu untuk melihat keadaan putrinya. Hanya tinggal dua atau tiga titian lagi, kepalanya akan menyembul di atas dan bisa melihat situasi di sekitar tebing.
Beberapa detik kemudian, pemandangan paling mencengangkan pun sukses membuat jantung Pak Biyan hancur hingga berkeping-keping! Dalam sekejap, beliau segera tahu apa yang tengah menimpa putrinya di atas.
Mulut Loca tengah dibekap seseorang dalam keadaan terlentang, diringkus ... dan diperkosa dengan leluasa!
"BAJINGAAAAAAN!!!! HENTIKAAAAAAN!!! BANGSAT KAU, WIYO!! ANJING KAU, HENTIKAAAAAAN ...!!!!
Jeritan sang ayah pun pecah membelah hutan. Bunga abadi di cengkeraman itu lepas dari tangannya dan menukik ke dasar jurang. Gemeretak gigi yang menahan amarah meledak memecah kesunyian.
Namun apa yang terjadi kemudian? Kemurkaan yang meluap itu sama sekali tak digurbris oleh Pak Wiyo, seakan dia tak mendengar apapun, tak menyadari kehadiran siapapun. Masih dalam keadaan leluasa, bajingan itu terus saja melancarkan aksinya bak binatang.
Dengan mulut masih dibekap, Loca tampak menjulurkan tangannya ke arah sang ayah seolah meminta diraih, namun terlalu jauh. Begitu memprihatinkan. Begitu menyayat hati.
Tangisan dan jeritan memilukan dari sang ayah pun seakan tak ada artinya. Tubuhnya seolah terikat rantai di sana hingga tak mampu digerakkan. Hatinya semakin hancur, jeritannya yang masih menggema terdengar semakin memilukan dan nelangsa. Tuhan hanya mengizinkannya menyaksikan perilaku biadab itu, tanpa membiarkan beliau melakukan sesuatu. Ini kejam. Sangat kejam! Kenapa Dia begitu tega?
Hingga akhirnya semuanya tampak semakin jelas. Setelah puas memenuhi hasrat bajingannya, iblis itu memakaikan kembali rok pramuka yang dipakai Loca. Lalu, dalam keadaan tak sadarkan diri, Loca dibopong mendekati tepi jurang.
"Tidak! Aku mohon, Wiyo, jangan lakukan itu! Jangan kumohon, jangan!!" teriak Pak Biyan dengan geram, namun memelas. Jelas beliau bisa membaca apa yang hendak diperbuat sang keparat itu.
Di depan mata dan kepala sang ayah, Loca di lempar ke bawah, terjun bebas, lalu mendarat dengan kepala pecah dan tubuh yang remuk.
"TIDAAAAAAAAAAAAK ...!!!"
Pak Biyan melompat dari ranjangnya. Keringat dingin mengucur hebat di seantero tubuh yang kurus itu. Itu adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya. Mimpi yang mungkin akan membuatnya gila untuk melanjutkan sisa hidupnya.
"Astaghfirullah ... Astaghfirulah ... Astaghfirullahaladziiiim ..." Jerit Pak Biyan sembari meremas dadanya yang berdenyut semakn nyeri. Beberapa saat lamanya beliau hanya bisa mematung. Tenggorokannya tercekat bak digantungi kapak besar. Sampai kemudian beliau tersadar, tangan kirinya ternyata tengah mencengkeram setangkai bunga abadi, dengan bentuk sama persis seperti yang beliau petik saat di dinding jurang itu. Bunga abadi yang menjadi saksi tragedi maut itu. Bunga tak kenal layu yang menguatkan tekad sang ayah untuk mengusut kembali kasus putri kecilnya.
Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya beliau menyadari ... mimpi buruk itu adalah penglihatan yang diberikan Tuhan untuk mengungkap kasus yang menimpa sang putri. Ternyata Tuhan mewujudkan doanya sebelum tidur, dan tetap melebihi harapannya. Bukan hanya bisa bercengkerama dengan Loca, namun Dia juga mengizinkan sang ayah untuk mengungkap kebenaran itu. Kebenaran yang kini masih tertimbun tanah di pekuburan.
Clossing storry.
Setelah Pak Biyan mampu membuat pihak penyidik terkesima dengan bukti fisik yang ditunjukkannya dari tubuh sang pelaku, kasus kecelakaan yang menimpa Loca pun dibuka lagi.
Bukti apa yang ditunjukkan Pak Biyan? Bekas cakaran dari kuku Loca yang menggemat di punggung bawah Wiyo. Dua garis memanjang bekas cakaran itu sempat beliau lihat dalam mimpi saat si iblis melancarkan aksinya. Lukanya sendiri memang sudah kering, namun bentuk garis yang digambarkan Pak Biyan ternyata sama persis seperti bentuk aslinya. Bagaimana mungkin itu hanya sebuah kebetulan?
Secara teknis, bukti tersebut memang tidak cukup. Apalagi hanya diperoleh dari mimpi belaka. Maka demi kepentingan bersama, kasus itu pun diusut lagi. Makam Loca dibongkar untuk dilakukan visum. Lalu hasilnya? Terbukti jelas, selaput dara Loca sudah robek karena dorongan benda tumpul (tetep, bagian yang ini nggak usah dipikirin).
Saat ditest DNA, semuanya baru masuk akal. Sang guru bajingan itu sudah tidak bisa berkutik lagi. Sesaat sebelum palu diketuk tiga kali di meja hijau, hukuman mati pun dijatuhkan.
Lalu, orang yang diajak bicara sama Loca dan tidak terlihat oleh Elyn itu siapa, ya? Tentu saja itu ayahnya Loca, Pak Biyan. Termasuk jejak sepatu yang ditemukan di akar itu, itu juga jejak sepatu sang ayah. Itu pula yang menjadi penyebab kenapa Loca sering pergi diam-diam, untuk menemui ayahnya.
Nah, lalu kenapa beliau tidak bisa terlihat? Karena beliau hanya petunjuk dan firasat bagi Loca. Kamu pernah dengar cerita orang yang punya teman khayalan? Nah, seperti itu. Kita tidak pernah tahu siapa teman khayalan itu. Bisa saja mereka adalah 'pelindung' bagi kawan hidupnya.
Semuanya memang sulit dijelaskan dengan nalar. Namun itulah misteri. Segala sesuatu yang berbau metafisika itu ada, meski banyak orang berusaha menolaknya dengan alasan tak masuk akal. Benarkah tak masuk akal? Atau hanya tak bisa menerima kenyataan akan keterbatasan sel otak untuk menjelaskannya secara ilmiah? Entahlah.
Yang pasti, kasus pembunuhan keji yang menimpa Loca, putri seorang ayah yang pantang menyerah itu, mampu diungkap dan dituntaskan hanya dari sebuah doa. Doa yang kuat dan penuh cinta.
Pesan moral:
"Keajaiban itu ada, dan kadang terjadi di saat yang tak terduga. Kebesaran Tuhan itu nyata. Dan kadang, kita hanya harus menerimanya dengan lapang dada, tanpa perlu logika, apalagi rumus matematika."
Komentar
Posting Komentar